Minggu, 19 September 2021

Sesaat

"Kamu nggak pernah tau selama ini aku cuma bisa diam untuk meredam semuanya!"


"Kamu nggak pernah sadar kalo aku kangen kamu!"


"Lalu, aku harus apa?"


"Nggak tau, pikir aja sendiri!"


Sebuah percakapan yang terjadi di dalam layar digital didampingi kepala yang panas akan amarah tak karuan. Malam yang hening terasa memanas atas situasi ini. Entah aku merasa bodoh karena merindukannya teramat dalam. Situasi saat ini mencekamku melalui wajahnya yang terngiang dalam anganku. 


Hal ini membuatku semakin membenci diriku. Aku hanya ingin kamu sadar aku membutuhkan perhatianmu. Rasanya tak kuasa menahan semuanya seorang diri.


"Ya sudah, berarti caraku nggak ada yang salah yaaa?"


"Percuma ngomong panjang lebar sama lu! Berasa ngomong sama batu!"


Tak sengaja kalimat mematikan itu pun terlontar.


"Aku capek sama kamu, kita akhiri aja semuanya!"


"Sayang, jangaaan…"


"Aku capek sama kamu!"



Lalu…


"Yauda, baik-baik kamu disana. Maafin aku nggak bisa jadi cowok yang baik buat kamu."


Aku pun tak peduli dengan kalimat tersebut. Kumatikan ponselku lalu ku tinggal tidur. Keesokkan harinya, aku merasa biasa saja dan merasa seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tak ada sepatah kata "selamat pagi" darinya. Kupikir dia memahamiku untuk me time karena aku sedang marah. Kemudian, aku bergegas untuk menuju kelas. Kelas pun berjalan dengan kondusif dan tidak ada yang menarik.


Usai kelas, aku pun bergegas untuk pulang. Tak sengaja aku berpapasan dengannya di suatu lorong. Dia hanya melihatku. Aku pun sebaliknya. Namun, tak ada sepatah kata pun terlontar memanggil namaku. Dada ini pun bergemuruh. Apa yang terjadi tadi. Perkataan mematikan itu terwujud. Berakhir. Ya, berakhirlah.


Hari pun berganti… 


Tiada lagi pesan darinya muncul di ponselku. Bahkan ketika berpapasan pun ia mulai buang muka padaku. Awalnya semua terasa seperti tidak ada sesuatu. Semakin lama dada pun perih. Rasanya ingin menjerit. 


Tanpa disadari mata pun terasa berair. Aku pun bergegas ke toilet dan duduk di atas kloset. Mengambil secarik tisu dan berusaha semaksimal mungkin tidak mengeluarkan suara. Sesak dan rindu pun bercampur aduk atas kebodohan ini. 


Dan berpikir ulang, andai semuanya bisa terulang kembali. Pasti tidak akan terjadi. Dasar bodoh. Seringkali aku memaki kebodohanku dengan kata itu.


Tik.. Tik.. Tik…


Hujan pun membasahi jalanan. Aku pun bergegas mencari tempat untuk berteduh. Kemudian aku memilih untuk menghampiri coffee shop. 


Mataku yang samar-samar sebagai penderita miopi pun terarah pada sosok lelaki. Kulihat dia yang sedang tertidur karena lelah betapa rumit tugasnya. Memang kebiasaan dia, dimana saja tidur. 


Aku pun tak kuasa menahan rindu ini. Akal sehatku makin menggila. Kudekati ia perlahan dengan langkah kecil. Lalu, kukecup kepalanya dan hati ini menjerit. 


Aku mencintaimu, sayang.


Syukurlah, ia masih tertidur pulas. Aku pun bergegas untuk menghindarinya. Aku sadar aku memang bodoh melakukan hal tersebut. Aku sadar bukan siapa-siapanya lagi. Tapi, biarlah aku mencintainya dalam diam. 



Dalam mimpi, 19 September 2021

Sabtu, 18 September 2021

Dewasa

Malam nan sunyi ditemani kerinduan sang jangkrik yang mungkin menyandungkan kerinduannya pada sang kekasih. Seketika teringat hal apa yang sudah lama tak pernah aku lakukan. Menulis isi hatiku dan menjadikannya sebuah karya. Ya, itu benar. Hanya saja saat ini kewajibanku sebagai sebuah siswa dengan jabatan tinggi yaitu mahasiswa membuatku lupa akannya. 


Langkah pun perlahan terhempas oleh waktu yang tak pernah lelah untuk melaju sepanjang masa. Aku terlalu menikmati waktu yang kuhabiskan bersamanya tanpa menyuratkan cintaku yang sesungguhnya padanya. Tak terasa bahwa menjadi sosok yang dewasa dalam suatu hubungan yang sehat bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya cemburu merajai ego. Pikiran yang kalut pun tak sengaja menyulut amarah. Semuanya memang tak mudah untuk dilalui. Ia hanya menekankan dan memintaku satu permintaan. Percaya. Hanya satu kata itu saja. 


Hal tersebut tak semudah aku jalani dengan diriku yang memiliki isu kepercayaan pada orang. Memang gila bagiku, untuk mempercayai suatu hal perlu dibuktikan dengan bukti nyata dan konkrit. Akhirnya, insting pun yang bertindak atas segalanya. Lelah memang menjadi sosok yang mudah curiga hingga pikiran aneh pun sering memerangi kepala ini. 


Hal ini mengingatkan diriku yang amat lugu. Janganlah terlalu berharap kepada manusia, manusia bisa berubah seiring berjalannya waktu dan situasi. Setelah ku pelajari, perihnya terlalu berharap padanya bisa saja berujung ke kesehatan mental hingga berbagai penyakit menyerang raga ini. Hal ini amat susah untuk dilakukan dan membuatnya bersih seutuhnya dari jiwa. Mengampuni. Forgive but can't forget. Sulit rasanya mengampuni dan berdamai dengan perih di dada. Namun aku percaya, waktu dan kemurnian sanubari lah yang menjawabnya. 


Alhasil, semua mampu kualihkan bersama kesibukanku yang menurutku terkadang kurang kerjaan. Melihat halaman di media sosial yang dipenuhi dengan apapun hal yang berkaitan dengan kesehatan mental. Itulah hal yang aku suka. Membagikan hal yang masyarakat awam kurang paham dan stigma pun menyelimutinya. Miris jiwaku pada mereka yang membutuhkan dukungan kita di situasi sulit seperti depresi. Namun orang di sekitarnya pasti menganggapnya kurang beribadah maupun terlalu memikirkan hal yang berlebihan. Seharusnya kita berada di sisinya dan membuatnya bangkit dari keterpurukan. Bukan terjatuh hingga terperosok ke jurang kekelaman.


Ditambah dilemanya akan masa depan. Aku harus apa. Bagaimana untuk bisa mencapai mimpi setinggi angkasa. Terkadang lingkungan pun tidak mendukung. Rasanya semesta tidak pernah menganggap kehadiranku di dunia ini. Sulitnya mencari jati diri bersama lingkungan yang menganggapmu seperti alien terdampar di planet lain. 


Diacuhkan tanpa alasan yang konkrit. Diremehkan. Aneh. Mereka yang melihatku dengan jijik. Inilah telah menjadi sahabatku. Seringkali aku merefleksikannya. Apa salahku yang membuat mereka seperti itu. Tidak, mau mereka memenjarakan pikiran untuk terjatuh. Kusadari usai berperang menuju kehidupan yang sesungguhnya.


Hanya satu kalimat mengingatkan kebimbanganku. Masa lalu tidak mempengaruhi bagaimana masa depanmu. Namun langkah dan pilihanmu saat ini yang menentukan masa depanmu. Entah kalimat ini muncul tiba-tiba dalam doaku di malam bersama rumitnya pergumulan.


Sebelumnya, terima kasih malam untuk memberiku kesempatan untuk bersua. Lega rasanya untuk menyuratkan penat menjadi sebuah karya. Selamat bermimpi indah. Semoga mimpi menjemputmu di masa mendatang.




Planet lain, 19 September 2021