Bersenandung dalam hiruk pikuknya jalan raya di malam nan sendu. Langkah pun terasa mudah sebab kemacetan di sekitar merajalela. Meski dipenuhi keramaian, sepi pun menyelinap dalam benak.
Hasrat pun menyenggolku untuk mengetahui kabarnya. Kupikir untuk apa menganggunya, aku pun bukan siapa-siapa di kehidupannya.
Rasa penasaran pun merajai akal sehatku, akhirnya jemari pun mengetukkan namanya. Sebuah pertanyaan konyol di balik penasaran bagaimana dia hari ini. Bila ia masih menyatu bersama semesta
itu pun membuatku bahagia. Ia pun membalas tarian jemariku hingga aku merasa gila seketika. Entahlah jadilah menyuratkan goresan wajah. Menghiraukan apa kata dunia akan kebahagiaan yang bodoh ini.
Titik penasaranku pun belum tercapai, kini siapa nama yang mengukir di hatinya. Perih mendengarnya, tapi apa boleh buat untuk kelabuan kagum secara tersirat. Rasanya ingin mengenalinya
lebih dalam, tetapi ia sering mengatakan bahwa ialah yang terburuk. Ia tak layak mendapatkan hal yang terbaik, mendengarnya ingin kulempar bangku dari warung soto ayam di seberang. Cukup, ini memilukan! Apabila hal itu terlontar,
pasti ia akan terhapus dari lembaranku yang telah diwarnainya.
Mengaguminya adalah hal yang gila, entahlah dia seperti masa lalu yang menghantuiku. Apa yang dilontarkannya, aku menyukainya. Lembaran hari pun usang perlahan, aku menyadari bahwa aku
mengaguminya. Mereka di khalayak ramai mengatakan suka itu berujung cinta. Bagiku, suka memiliki banyak konteks. Tak selamanya suka menjadi suatu ikatan kekal.
Semakin merendah, pilu menyengatku kembali. Kehadirannya di dunia hanyalah fana, bisa dihitung dalam detik. Usai itu, ia akan hempas dan kenangan pun segera terukir di secarik kertas.
Tubuh pun kelu seketika, akal pun tak berdaya. Air mata pun menahan malu akan keramaian. Rasanya ingin menjerit, tapi apalah daya ini. Tak kuasa amarah bergejolak, namun aku hanya bisa diam. Dan berusaha untuk merapatkan jemari
untuk tak menyapanya.
Usailah tak kuasa menahan amarah, aku pun melangkah menuju tempat menumpu lelahku. Ditemani oleh gulita malam nan sunyi, sesunyi jiwaku kini. Kepala pun dirajami amarah dan bimbang.
Tak layak aku menghakiminya, aku bukanlah dewa semesta. Aku bukanlah Yang Maha Kekal, untuk apa. Untuk apa aku bersedih bila ia menghempaskan langkahnya di semesta. Apakah semesta menolaknya secara halus seperti yang ia katakan?
Aku tahu dialah spesial, hanya saja ia selalu merendah, merendah dan merendah. Tolonglah, jangan lakukan itu!
Jakarta, 4 November 2019
Winatuyy
Winatuyy