Kamis, 28 Juli 2022

Patung Berjalan

Kali pertama memandangnya, hati ini menggelorakan kasmaran. Hingga sang wajah tak kuasa menahan ronanya pipi. Bayangan dalam angan selalu menuju padanya. Diam, lugu dan piawai. Sayang, piawai secara materi namun selalu bungkam mulutnya ketika berada di khalayak ramai. 


Ribuan purnama pun berlalu bersamanya. Entahlah kenapa mata ini buta selama itu. Berapa juta sel di otak gugur akan kepandiran ini. Canda tawa yang menghiasi hari bersamanya kini redup dan mati seketika. Tak kuasa lagi untuk merasakan apa itu cinta.


Ternyata selama ini dipenuhi tipu muslihat. Membatu jiwanya. Bagai batu yang diukir oleh pemahatnya. Merasa paling sempurna. Seakan-akan dunia seperti dalam serial drama. Dikendalikan berdasarkan apa yang kita mau. Nyatanya dunia tak selamanya indah seperti ego kita.


Kala itu, kaki melangkah bersamanya yang sedang asik bersama dengan dunianya. Seolah-olah dunia milik sendiri. Tiada yang berhak menguasai dunianya. Tak peduli apa yang terjadi di sekelilingnya. 


Setiap petua datang padanya selalu ditolak. Betapa maha benar dirinya. Bagaimana pun dunia hanyalah atas kendalinya. 


Raganya pun berkata,

"Akulah patung terindah yang telah dibuat oleh sang pemahat terhebat. Layaknya Leonardo da Vinci menorehkan warna di wajah Monalisa."


Demikian sebuah gambaran dari sosok patung berjalan. Betapa indahnya hempas waktu bersamanya. Kesia-siaan merenggut akal sehat ini. Rangkaian kata ini menggambarkan betapa indahnya dikala itu. Disini sebuah pencerahan menyinari gelapnya mata akan sebuah kasih. Kasih yang tak berujung tak selamanya menjadi kebaikan.


Jakarta, 29 Juli 2022

Mau jadi badut.


Windy N

Tidak ada komentar:

Posting Komentar